Sabtu, 29 Januari 2011

Don’t judge a book by its cover (ketika status seseorang dilihat dari penampilannya..)

Sore itu, dalam rangka mencari furniture yang minimalis, modis dan fungsional, saya dan suami mampir di sebuah toko furniture kecil di pinggir kota (dengan pertimbangan dekat dari rumah). Turun dari motor, saya langsung clingak-clinguk liat barang. Dari mejanya, pemilik toko bertanya, “Cari apa, bu ?”. Meja makan, Pak.” jawab saya. Pemilik toko tersebut kemudian berdiri dan menjangkau album2 katalog produknya. “Mau yang kau atau kaca, bu ?” tanyanya sejurus kemudian. “Yang kayu”, jawab saya pendek. Kemudian dia menyodorkan satu gambar dari katalognya, “Yang ini bu, yang paling laku”. Saya mengeryit. Meja yang sangat sederhana, persegi dengan kaki yang terlihat tak begitu kokoh dan kursi yang sangat-sangat biasa, jauh dari keinginan saya. “Hmm, ada model yang lain gak, pak ?” tanya saya. Pemilik toko tersebut tak bergeming, tetap menyodorkan katalognya. “Yang ini bu, yang paling murah..”, jawabnya. Saya tetap mencari model lain dengan membuka2 katalog lain. “Saya gak suka modelnya, dan ragu sama barangnya (kokoh/tidaknya)”. “Ini paling murah, bu, paling laku pula..”, pemilik toko menekankan harga murah barang yang ia sodorkan. Saya makin mengeryit, “Ga ada model lain, pak ?” tanya saya. “Ada sih, bu, tapi mahal..di atas tiga jutaan” jawab pemilik toko itu tanpa memperlihatkan modelnya. Deg, mendengar jawaban si pemilik toko, saya langsung bertanya2..”Kenapa sih si pemilik toko keukeuh menawarkan barang yang paling murah? Seakan2 saya tak mampu membeli barang yang harganya lebih dari itu…” Tanpa terlalu banyak bertanya lagi, saya meninggalkan toko dengan sedikit dongkol.
Ketika saya bercerita pada seorang sahabat, ia tersenyum. “Mengingatkan saya pada ibu2 yang seangkot dengan saya” katanya. Ceritanya, ibu2 tersebut penampilannya memang sangat sederhana, sama sekali tidak memperlihatkan orang berada. Ibu tersebut bermaksud membeli gorden di suatu toko. Dengan penampilan seadanya, bersendaljepit, si ibu masuk ke toko tersebut. Sayangnya, pemilik toko meremehkannya. Ketika ia memilih gorden bagus, pemilik toko berkilah, “Yang itu mahal, bu” Padahal, ibu tersebut mampu untuk membeli. Tapi ia batal membeli karena perlakuan pemilik toko yang meremehkannya, menganggap ia orang miskin yang tak mampu dan tak layak untuk mendapatkan barang bagus yang mahal itu.
Lucu, seharusnya sebagai pedagang, tak bolehlah kita memilah2 customer apalagi kita menilainya hanya dari penampilan saja. Bisa2 justru customer yang sebenarnya berpotensi malah kabur karena tersinggung. Mungkin sudah gayanya si ibu tadi dengan pakaian sederhananya. Atau seperti saya yang lalai tidak mengganti baju yang lengannya sedikit robek karena tersangkut saat mau pergi. Tapi itu kan tidak bisa dijadikan patokan status dan kemampuan kami untuk berbelanja…
Tentang menilai orang dari penampilannya, mengingatkan saya pada cerita ibu bertahun lampau. Kami memang keluarga sederhana. Penampilan ibu juga sederhana. Tapi orangtua saya punya visi yang baik tentang anaknya. Sesusah apapun, pendidikan anak nomor satu. Saat itu, tahun 80an, ibu membawa saya yang masih kecil menengok kakak yang sedang kuliah di Bandung (kami tinggal di kota kecil, luar Bandung). Sepulangnya dari sana, kami menumpang kendaraan umum yang terlihat sesak. Ibu, dengan memangku saya, duduk di samping seorang bapak. Sebetulnya masih ada space untuk bergeser. Tapi si bapak terlihat arogan tidak mau bergeser, menjadikan ibu kesulitan duduk nyaman. Saya yang sedikit penat, terlihat pusing. Si bapak tersebut berkomentar dengan ketus(dalam bahasa sunda kasar-saya terjemahkan) “Makanya, bu, kalo anaknya suka mabuk jangan dibawa bepergian” Ibu saya tersinggung tak terima anaknya dikatakan suka mabuk perjalanan. Ibu langsung menjawab, “Eh, pak, anak saya ini dari usia 6 bulan sudah sering saya ajak bepergian dan tak pernah sekalipun mabuk perjalanan. Saya sering bawa dia ke Bogor atau Bandung”. Si bapak tersebut nampak meragukan jawaban ibu. “Emang ibu suka bepergian? Ngapain ?”, tanyanya sinis. Ibu makin tersinggung, “Ya iya lah, pak. Saya bawa anak ini nengok kakak-kakaknya yang sedang kuliah. Barusan abis nengok kakaknya yang ketiga, kuliah di Ekonomi. Beberapa waktu lalu ikut ke wisuda kakak keduanya di IPB. Kalo yang sulung, di IKIP. Yang sudah lulus langsung pada kerja. Ada yang jadi guru SMA, yang satu lagi lgs jadi dosen, lulusnya juga pada cumlaude…” papar ibu dengan panjang lebar. Dalam hitungan detik, situasi langsung berubah. Dengan bahasa sunda halus, si bapak berkata (dengan senyum manis-tidak ketus lagi) “Silakan, bu, agak geser…” dan si bapak bergeser…
Sejak itu, ibu selalu mewanti2 anaknya. Janganlah kau menilai derajat seseorang dari penampilannya. Mungkin seseorang tak berlebih dalam harta, tapi berlebih dalam ilmu. Jangan meremehkan orang hanya karena terlihat tak sepadan dengan kita, pesannya..
Yah, ini semua memang membuktikan, bahwa penampilan berperan dalam menentukan status seseorang. Mungkin ini jadi bahan renungan untuk saya dan pesan lainnya dari kejadian tersebut, mungkin supaya saya lebih menjaga penampilan…hehehehe….