Senin, 10 November 2014

Reach ur stars...

Minggu 9/11/14 ketika Bandung lumpuh membiru, kami berempat terjebak di dalam mobil. Mungkin bisa dimaknai menjemukan. Tapi pada nyatanya inilah kesempatan kami berempat tuk melakukan 'rapat' dadakan. Yup, somehow, jadilah mobil kecil ini tempat diskusi. Diawali dari keinginan si bungsu Luffy tuk menerapkan sistem Bintang di rumah. Ya, mungkin sedikit terlambat, tapi kenapa tidak ? Ditambah si sulung yang juga ingin menambahkan zona hitam. Jadilah sore itu kami berunding 'rule of the game' yang mereka inginkan. Ajaib. Tanpa diduga, mereka punya usulan yang tak perlu banyak dikoreksi. Inilah diantaranya : GAPAI BINTANGMU 1. Shalat 5 waktu dengan khusyu (2 bintang) 2. Tidur sebelum jam 9.00 malam tanpa ditemani Mama atau Ottou-san, di kamar sendiri (kamar atas). 3. Bangun tidur jam 5.00 pagi 4. Mandi sendiri dengan tertib, benar dan bersih (3x) 5. Membersihkan diri setelah BAB sendiri (3x) 6. Makan sendiri dan tidak bersisa (3x) 7. Makan sayur 8. Membantu orang tua 9. Membereskan mainan, buku, tempat tidur, bekas makan, dsb. tanpa disuruh 10. Jadi juara (10 bintang) ZONA HITAM 1. Mencuri (5 hitam) 2. Berbohong, bertindak tidak jujur 3. Mengejek, berkata kotor/ jelek, tidak sopan 4. Bertengkar, berkelahi tidak mau berbaikan 5. Memukul, mencubit, menggigit, menendang dan main fisik lain kepada saudara dengan sengaja 6. Nonton sinetron dewasa tanpa didampingi 7. Cengeng atau rewel 8. Main game lebih dari 2 jam 9. Main di luar rumah lebih dari jam 17.30 10. Tidur lebih dari jam 10 malam Semua atas usulan mereka. Mungkin terkesan sepele akan apa yang mereka usulkan. Namun sedikitnya membuat saya bangga. Dua kurcils ini ternyata sudah bisa membedakan mana nilai/perbuatan positif dan mana negatif. Tawar menawar juga terjadi, menghidupkan diskusi. Tawa terpecah di sela usulan-usulan yang kocak... Hmmm, momment kebersamaan dan menyenangkan bisa diciptakan dimana saja rupanya. Bahkan di tengah kemacetan yang menjemukan :) Satu hal lain yang bisa saya tarik adalah dua bocah ini punya 'suara'. Dan mereka berhak menyuarakan apa yang mereka mau. Kita, orang tua, hanyalah seorang fasilitator :)

Selasa, 14 Oktober 2014

READING CAPABILITY

Suatu malam, seperti biasa Luffy meminta ditemani belajar baca. Karena buku yang biasa kami gunakan tertinggal di rumah neneknya, akhirnya saya menggunakan buku dengan metode lain. Salah satu metode dalam buku itu adalah gambar dan kata. Ketika sampai pada satu halaman, di sana ada beberapa gambar dan kata. Ketika saya tunjuk gambar jerapah, Luffy langsung mengeja dan menunjuk tulisan "Je-ra-pah". Lalu pas gambar Gajah, Luffy mengeja "Ga-Jah". Ketika saya tunjuk gambar siput dengan tulisan "Si-put", Luffy langsung mengeja "Ke-ong". Dan meledaklah tawa saya. Luffy juga tertawa meski belum faham kenapa saya tertawa. Ketika saya jelaskan, dia tertawa lagi. Ternyata, yang dia lakukan dari tadi bukan berusaha mengeja tulisan di bawah gambar. Namun ia melakukan interpretasi kata sendiri berdasarkan gambar di atasnya. Hal ini mengingatkan saya akan suatu keterbatasan otak dan pikiran kita. Ada kalanya otak kita tidak semerta-merta mampu menterjemahkan bahasa yang tertuang dalam tulisan sesuai dengan pikiran penulisnya. Sebagai penulis, kadang kita berharap bahwa pesan yang kita tulis sampai sesuai dengan isi pikiran kita. Namun kadang kita lupa bahwa satu kata bisa memiliki nilai emosi yang berbeda bila diterjemahkan berbeda. Bayangkan jika beberapa kata itu jadi kalimat. Adakalanya memang kalimat-kalimat yang ditulis mudah untuk dimaknai. Namun tak jarang, beberapa penulis sengaja memilih padanan kata atau kalimat yang bisa diinterpretasikan macam-macam. Untuk apa ? Tentu itu adalah hak si penulis untuk menuangkan isi pikirannya dengan gayanya masing-masing. Ketika seorang penulis menuangkan kalimat-kalimat bijak, sekiranya kita berpikir bahwa si penulis sedang menshare perbuatan positif. Tapi adakalanya di saat yang lain, kita membacanya sebagai kalimat menggurui, sok benar, sok paling bijak. Ada banyak hal tentunya yang menyebabkan pesan positif menjadi pesan negatif seperti itu. Atau ketika seorang penulis menshare pengalaman hidupnya (atau bahkan pengalaman sehari-harinya) dengan bahasa lugas sederhana, bisa dibaca sebagai langkah menyombongkan diri, menshare hal yang tak penting. Namun pernahkah terbersit, bahwa ada beberapa pembaca yang justru memperoleh ide atau mungkin pencerahan dari hasil membaca jurnal si penulis ? Setiap penulis punya bahasa dan gaya menuangkan ide berbeda. Jangan minta pada penulis fiksi untuk mencantumkan rujukan atau menulis dengan kalimat yang tidak ambigu. Karena itu sama saja dengan membatasi karyanya. Membuat monoton. Sebaliknya, janganlah biarkan penulis ilmiah menulis karya ilmiahnya tanpa bukti dan rujukan yang jelas. Karena itu berarti kita mengembangkan ilmu pengetahuan dari hal-hal absurb dan di luar bukti dan nalar. Smart writer, bisa dengan mudah mentransfer isi pikiran pada pembacanya. Misterious writer, berusaha membuat semua serba samar-samar. Creative writer, selalu membiarkan pembacanya berkreasi dalam interpretasi tulisannya. Pun demikian dengan pembaca.Smart reader, berusaha menterjemahkan tulisan yang ia bacanya dengan berbagai 'bahasa' hingga takkan terjebak pada satu interpretasi. So, reading capability harus sinkron dengan kemampuan 'penerjemahan'. Kembali ke kasus Luffy, jikalah Luffy tidak bijak, ia tentu akan marah habis-habisan ketika saya bilang bahwa yang Luffy baca itu salah. Bahwa tulisannya adalah "Si-put" bukan "Ke-ong". Karena bagi ia, gambar di atas tulisannya adalah gambar Keong. Namun Luffy ternyata tahu dan sadar bahwa ia 'salah membaca'. Hingga jadilah tawa kami meledak bersamaan. Itulah, Luffy, yang tidak melihat sesuatu itu sebagai HITAM dan PUTIH, tapi ia tahu ada banyak warna di sekelilingnya. Bahwa ada abu-abu diantara hitam dan putih. Atau bahkan, ada merah, biru, kuning, hijau, ungu, orange, dan warna-warna lain. DAn ketika kita mencampur semua warna itu, jadilah warna hitam. Jadi, semua tergantung kita yang akan mewarnainya. Hmm... So, jgn menjudge seseorang hanya dari tulisannya. Ketika seseorang menuliskan hal-hal indah yang dialaminya, tak bisa kita semerta-merta bahwa ybs memamerkan yang ia punya. Siapa tahu, tulisannya justru memicu dan menyemangati orang lain tuk mencapai hal yang sama. Pun sebaliknya jika seseorang mengeluhkan hal-hal buruk yang dialaminya, tak bisa pula kita menarik kesimpulan ybs. merasa sebagai orang yang paling bermasalah di dunia hingga ingin dikasihani. Siapa tahu tulisannya bermaksud agar yang membacanya bisa menarik pelajaran dan tidak mengalami hal yang sama dengan dirinya. Bagaimana dengan tulisan 'umpatan' ? Hmmm... perlu otak, pikiran, dan hati yang terlatih tuk membacanya. Ah, maybe ini hanya teori, hanya omong kosong, tapi mungkin juga, ini yang seharusnya. Wallahu a'lam bissawab, saya hanya mencoba belajar menulis dan membaca kembali. That's my terapi :)