Kamis, 08 Juli 2010

Diambil darah, siapa takut ???

Anda takut diambil darah ? Kenapa ya ? Takut pada jarum suntik ? Atau takut melihat darah ?
Ketika saya masih magang di salah satu laboratorium klinik, seringkali menghadapi pasien dengan ekspresi bermacam-macam saat diambil darahnya. Ada yang santai karena sudah terbiasa, ada pula yang terlihat miris karena melihat jarum yang dibayangkan akan merobek kulitnya meskipun pada kenyataannya tidak begitu. Namun, diantara semuanya, paling sulit ketika berhadapan dengan pasien bayi dan anak-anak. Sangat sulit mengambil darah bayi yang memiliki pembuluh darah kecil. Apalagi melihat kondisi tubuhnya yang masih ringkih...tak tega rasanya harus memeganginya erat karena kadang mereka meronta kuat. Pun begitu dengan anak-anak. Rasa takut yang menyergap saat masuk ke ruang pemeriksaan membuat mereka langsung menyusun benteng perlawanan. Meronta itu pasti...
Tapi ketakutan saat diambil darah tidak hanya berlaku pada anak kecil. Dalam beberapa praktikum yang memerlukan pengambilan darah dari manusia, tak sedikit mahasiswa saya yang mundur tak mau jadi sukarelawan. Meski pengambilan darah dilakukan oleh orang ahli sekalipun, apalagi jika diambil oleh rekannya, mereka pasti menolak.
Ya, pengambilan darah menjadi suatu fobia tersendiri bagi beberapa orang. Entah karena pada dasarnya penakut, traumatis, atau kadang karena takut melihat darahnya. Penolakan dari diri pasien akan berpengaruh pada proses pengambilan darah itu sendiri. Jangan heran jika seseorang yang paling lihai mengambil darah, bisa gagal karena pasien yang tidak cooperative.
Bagaimana agar pasien cooperative ? Mungkin salah satunya dengan menciptakan suasana senyaman mungkin. Di Lab.Klinik tempat saya magang dahulu, pasien disambut dan dilayani dengan penuh perhatian, dibawa dalam suasana rileks dan santai hingga rasa takut itu bisa berkurang dan syukur-syukur terlupakan. Untuk pasien anak-anak, selain diajak bercerita, bujuk rayu dan suasana tenang mutlak diperlukan...jangan sampai si anak bertambah takut karena perawat yang mengambil darahnya pasang tampang jutek dan marah-marah.. Wah, bisa kabur deh.
Dan kemarin, saya berada pada posisi sebagai orangtua yang anaknya diambil darah. Bila dulu saya yang terbiasa membujuk dan memegangi pasien anak yang hendak diambil darah, sekarang saya harus melakukan hal yang sama untuk anak saya.
Sebenarnya ini adalah pengalaman kedua. Putra kedua saya, Luffy, saat masih berusia 4 hari harus cek bilirubin. Duh, miris sekali melihat bayi mungil itu menggeliat saat terkena jarum. Sekarang, kakaknya, Aufal (2,5 thn) juga harus periksa hematologi. Ketika masuk ke ruang periksa, ternyata perawatnya belum selesai menangani pasien sebelum Aufal, seorang anak perempuan sekitar 4-5 tahunan. Anak itu meronta, menangis, dan menjerit sekeras-kerasnya. Boro-boro bisa mengambil darah, untuk menenangkan saja, perawat-perawat tersebut kewalahan. Dan Aufal menyaksikan itu semua ! Waduh, bahaya ! pikir saya dan suami. Suami langsung meminta Aufal dibawa keluar, takut dia trauma duluan dan ketakutan sebelum diambil darahnya. Tapi Aufal bersikeras mau melihat. Akhirnya, perawat tersebut menghentikan usahanya mengambil darah si anak, dan mendahulukan Aufal untuk diambil darah. Mulai deh saya khawatir Aufal meronta seperti anak itu. Pendekatan bujuk rayu siap dijalankan. Tapi apa yang terjadi ? Aufal hanya minta dipangku dan tanpa perlawanan mau menyodorkan tangannya untuk diambil darah. Ketika perawat meminta Aufal memalingkan muka (agar tidak melihat jarum suntik mengenai kulitnya), Aufal malah menggeleng dan dengan penuh kepenasaran melihat bagaimana jarum itu mengenai kulitnya...Ajaib, tanpa perlawanan, tanpa tangisan, apalagi jeritan, darah berhasil diambil. Bahkan ketika setelah itu dilakukan pemeriksaan waktu pendarahan, dimana telinganya ditindik kecil menggunakan lanset, Aufal juga pasrah. Ternyata, ada juga ya anak batita yang berani seperti dia ? Dan bangganya, anak itu adalah anak kami !! Selesai pemeriksaan, Aufal dengan bangganya memperlihatkan bekas tusukan di lengannya yang ditutup plester luka. ” Akit..ni..”, katanya..
Ternyata, rasa takut itu memang bisa timbul karena berbagai faktor, dan mungkin, bila kita terbiasa, rasa takut itu bisa berangsur hilang. Atau dengan pendekatan tertentu, seperti pada anak-anak, rasa takut itu bisa berkurang....
Semoga pengalaman ini bisa berguna.

1 komentar:

  1. wahh..sama kyk Naura. Kadang2 anak kita memang tak sepenakut yang kita kira ya..Kadang2 mereka malah lebih pemberani dari kita,,di luar rasa excited mereka terhadap pengalaman baru tentunya..^_^

    Mampir ya jeng di blogku : http://celotehbundanaura.blogspot.com

    BalasHapus