Sabtu, 24 Juli 2010

Need shoulder to cry on..

Terkadang, emosi itu perlu ditumpahkan. Bahkan emosi yang tanpa sadar kita pendam dan tutupi. Bentuk luapan emosi paling mudah adalah menangis. Menangis kadang baik sebagai salah satu cara meringankan beban. Asalkan setelah itu tidak lantas patah arang, namun jadi lebih kuat untuk bangkit. Jangan takut dibilang cengeng, menangis adalah bukti bahwa hati kita masih peka. Sentimentil itu masih dibutuhkan asal jangan terlalu.
Siang itu, saya baru saja selesai bercurah hati dengan seorang sahabat lama. Mencoba saling menguatkan diri. Mencoba menghibur dirinya yang baru saja kehilangan calon bayinya. Meski hanya bisa berkomunikasi lewat dunia maya, kami berusaha saling mengisi relung kosong hati dengan semangat untuk melanjutkan kehidupan.
Namun tak berapa lama, suami saya menelpon, memberi tahu jadwal operasi putra pertama kami, Rauffala(2,5 thn), sudah dipastikan esok malam. Blasss...di tengah suasana laboratorium yang sepi, hanya suara pump air untuk kondensor dua alat destilasi minyak atsiri dan rotavapor yang menyala, ruang hati saya seperti pasar malam. Kacau, bising dengan bisikan penuh kekhawatiran. Bagaimana esok malam ? Apakah operasinya akan berjalan lancar ? Bisakah Aufal melewatinya ? Lalu kenapa semua harus berlangsung di saat riset saya baru dimulai ? Haruskah saya hentikan lebih awal ? Dan beragam kekhawatiran lain berkecamuk di benak saya. Terutama masalah kondisi Aufal saat dan setelah operasi. Dan emosi itu memuncak...
Saya tak mengerti. Proses operasi ini telah dipersiapkan sebulan sebelumnya. Ketika orang-orang di sekeliling kami meragukan keputusan tersebut dan berusaha menyodorkan alternatif lain, tapi kami, terutama saya, menolaknya keras dan tetap kukuh pada keputusan kami untuk melakukan tindakan operasi. Ketika orang lain merasa miris membayangkan batita kami harus berada di meja operasi, saya meyakinkan mereka bahwa operasinya hanya operasi sedang, bahkan tak perlu rawat inap. So simple, percaya diri saya yakinkan it’s gonna be ok...
Tapi ketika kepastian operasi itu datang, ternyata saya tak bisa lagi memendam rasa khawatir. Sedih, ragu, dan selaksa emosi negatif menyeruak. Mengumpul di sudut mata. I need shoulder to cry on !
Segera saja saya menghampiri rekan sekaligus sahabat-sahabat saya yang sedang bekerja di lab lain. Pada awalnya saya hanya ingin menitipkan bahan riset saya karena saya tak bisa melanjutkan riset esok hari dan hari-hari berikutnya sampai Aufal pulih benar. Sahabat saya kaget juga mendengar rencana operasi esok hari. Saya mencoba tegar menceritakan kronologisnya. Tapi, tetap tak bisa dipungkiri, emosi saya memuncak mengumpul di pelupuk mata. Dan kemudian.. “Teteh, saya mau nangis…” Segera saja ia memeluk saya erat. Menyediakan bahunya untuk tempat menangis. Entah kenapa, tanpa sepatah kata pun terucap, rasanya setengah beban emosi yang pada awalnya terasa mulai menghilang seiring air mata yang keluar. Saya tak pernah menangis ketika bercerita soal rencana operasi itu, saya tegar ketika dengan meyakinkan orang disekeliling saya dengan keputusan saya. Tapi ternyata, air mata itu muncul juga.
Setelah saya bisa menegakkan kepala, sahabat saya yang lain datang menghapiri. Melihat saya berkaca-kaca, “Lia jangan menangis… Kamu harus kuat !!!” Blazz… pelukan dan rangkaian kata itu berubah mejadi bulir energi positif yang mulai menggeser segenap emosi negative di hati. Alhamdulillah… saya bisa menegakkan kepala kembali dan dengan tegas berkata “ Saya harus kuat “
Berkat doa dan dukungan sahabat, esok harinya saya bisa melewati hari tanpa beban dan kekhawatiran berlebih. Dengan tegar mulai menyiapkan diri Aufal. Pun begitu Aufal. Rasanya, operasi ini bisa berjalan tanpa rasa cemas. Kami kembalikan semua pada kehendak-Nya. Dan alhamdulillah, esok hari setelah operasi, Aufal bisa bermain dengan cerianya.
Begitulah, menangis adalah hal wajar. Dan kita selalu membutuhkan orang lain untuk jadi penopang kita di saat kita limbung, untuk jadi pendorong kita di saat kita lelah berjalan, untuk jadi pegangan kita di saat kita akan jatuh, agar kita tidak terus terpuruk. Mereka adalah sahabat... Thanks for ur shoulder...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar